Melangit

Ujian itu, tanah kotor dan kasar yang diaduk, diinjak-injak, dilempar, diputar-putar lalu dibakar. Ujian itu seonggok adonan liat yang dibentuk, diukir dan dilukis warna hingga menghasilkan sebuah teko yang memesona.

Sabar itu, ketika tiba-tiba daun gugur dari tangkainya, bergulungan tak tentu arah dinanti tanah. Lalu beberapa lama mereka bercengkrama disana, membumi dan berputar lagi. Sabar itu, tak perlu tanya mengapa sesuatu menimpa, bila perlu harus jatuh dan terus berpeluh. Lalu beserta segala sesuatunya di bumi, kepadaNya mereka kembali.

Pasrah itu, pilihan terindah yang bisa dilakukan saat segala upaya telah dikerahkan. Seperti matahari yang tetap terik mengeringkan kemarau, tak tersinggung sedang manusia begitu menginginkan derasnya hujan.

Ikhlas itu, bukan bahasa hanya bagi para dewa. Bukan pula menurun dari langit begitu saja. Ikhlas itu hujan yang mengguyur hutan, kemudian si penghuni tetap melangit padaNya.

Bahagia itu, seperti udara. Smakin kita mengejarnya, smakin cepat ia berkelit, menghindar entah kemana. Diam membiarkannya, sangat mungkin kita terhempas atau bahkan terlena dibuatnya. Bahagia ada di dalam hati kita, untuk dinikmati, dihirup sedalam-dalamnya.

Tiap langkah kaki ini telah ditetapkan sejak zaman azali, bahkan tiap helaan nafas ini. Tugas manusia hanyalah terus bersemangat melakukan yang terbaik semampunya. Tak ada guna bila sedih dan terus terpuruk karena tak berefek baik bagi kita. Mengapa tak pilih saja tetap tersenyum dan menebar manfaat seberat apapun situasinya. Semua pasti ada akhirnya. Akhir yang bahagia hanya bagi orang-orang yang masih percaya pertolonganNya.

Bahasa-bahasa langit ini kadang tidak mudah difahami, bahkan untuk dijalani. Selama Izrail belum menutup jalan nafas ini, apa salahnya menyemangati, tak lain juga untuk diri sendiri, saat ini dan nanti. Smangat!


Teruntuk aku, istriku, dan bidadari kecilku.

Leave a respond

Posting Komentar