Si Bodoh ingin bercerita tentang hujan.

Hujan ketika si bodoh kecil

Hujan pada masa kecilnya begitu menyenangkan baginya. Mungkin karena dunia di kepalanya yang sangat personal melihatnya 2 dimensi, datar. Hanya panjang kali lebar, hanya basah atau kering, hanya enak dan tak enak. Dan itulah hiburan baginya, hiburan gratis orang-orang kecil sepertinya. Anggapan yang sama di benak kedua orang tuanya hingga mereka tak kuasa melarangnya. Hujan saat itu bagi si bodoh adalah saat di rumahnya bertebaran ember atau panci dan kawan-kawannya. Namun saat itu pula, adalah saat si bodoh berlari-lari mencari ‘grojogan’ dari atap-atap rumah tetangganya dengan bertelanjang dada. Tertawa, menari, berlari bersama saudara-saudaranya.


Hujan ketika si bodoh remaja.

Hujan ketika itu mulai terlupakan betapa menyenangkannya. Namun saat itu pula, hujan bagi si bodoh tak lagi 2 dimensi. Hujan di dunia kepalanya yang sangat personal menjadi 2,5 dimensi. 0,5 dimensi baginya adalah ketika dia mulai mengenal hujan dalam siklus hidrologi sebagai proses presipitasi. Ternyata hujan berasal dari awan yang terkondensasi kemudian turun ke bumi dalam bentuk butiran air. Mengalir menyusuri sungai dan bermuara di lautan. Matahari menguapkannya kembali menjadi awan.


Terlepas dari proses hujan yang terus berjalan, si bodoh merasa begitu dekat dengan hujan walaupun bukan dalam suasana yang menyenangkan. Hujan baginya ketika itu adalah saat dia bertanding berlari menggiring bola kemudian hujan meringankan tarikan nafasnya. Atau saat dia berlatih jurus-jurus menendang dan memukul kemudian guyuran hujan menambah semangatnya bersama teman-teman seperguruannya. Ya...Ketika itulah hujan memberikan manfaat nyata baginya dan orang-orang di sekitarnya. Ketika dia mulai menyadari bahwa hujan masa kecilnya menempa fisik si bodoh hingga saat dia remaja rintik gerimis pun tak menjadikan mudah terpuruk dan sakit baginya.


Hujan ketika si bodoh beranjak dewasa.

Pernah suatu ketika si bodoh mendaki gunung menembus kabut bersama sahabatnya. Singkat cerita, sahabatnya menghilang untuk sementara. Tersesat di gunung yang sedang dilanda musim hujan yang tak jua reda. Hingga malam menjelang, sahabatnya tak kunjung tiba. Si bodoh mencarinya namun hujan badai menghentikan langkahnya. Si bodoh dirikan tenda walaupun tetap saja air masuk merembes dan membasahi seluruh tubuhnya. Semalaman dia meratapi kebodohannya. Kenapa dia tinggalkan sahabatnya berjalan sendiri menuju puncak gunung yang belum pernah sahabatnya kenali. Si bodoh menangis, membayangkan sahabatnya yang tidur hanya beralaskan tanah, beratap langit hingga hujan dan dingin membunuhnya pelan-pelan. Namun ternyata, semua tak seperti yag dia bayangkannya. Sahabatnya mampu bertahan dan selamat ditemukan.


Hujan ketika itu memberikan banyak makna dalam hidupnya. Dunia di kepalanya mulai melihat bahwa dunia ini tak datar, dunia yang 3 dimensi. Ternyata tak hanya tentang panjang kali lebar, tak hanya tentang basah atau kering,dan tak hanya enak dan tak enak Prosesnya pun ternyata tak hanya sebatas siklus. Karena ternyata pernah ketika hujan dan badai mulai turun dan si bodoh menangis mencari-cari dimana matahari, Allah kadang menghadiahkan dia pelangi. Hujan ajarkan dia bagaimana menjalani dan memaknai sensasi dinamika kehidupan ini. Si bodoh mulai menyadari bahwa hidupnya bukanlah bagaimana menghadapi badai, namun bagaimana tetap menari ketika hujan turun mengguyurnya.


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Qs. Ar-ruum 24)

Leave a respond

Posting Komentar