Pendakian Gunung Singgalang yang tak akan pernah terlupakan.

Episode hidup kali ini tentang seorang bodoh yang nyaris mati bodoh karena kebodohannya.


Singkat cerita, Si Bodoh yang memiliki tahi lalat di bawah telapak kaki kirinya, berobsesi menjelajah tempat-tempat tak terjamah di negerinya. Dia ingin melakukan perjalanan hidup yang benar-benar hidup, menikmati sari pati kehidupan. Terdamparlah ia di suatu negeri seberang, kampuang nan jao di mato.

Kampuang yang dilewati jalur pegunungan Sirkum Mediterania, jalur pegunungan yg membujur dari negerinya ke arah barat menuju Mediterania hingga Himalaya. Beruntunglah negerinya memberi jalan atas ribuan mimpi tak terkalkulasinya dengan menyediakan dua deretan jalur pegunungan,Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik yang membujur pula di antara daratan sekitar samudera pasifik, 'ring of fire'. Keberuntungan karena begitu banyak gunung yang dapat memuaskan obsesi pendakian Si Bodoh.

Negeri nan jao di mato yang ia datangi kali ini menarik perhatiannya karena di sana terdapat gunung Kerinci yg merupakan gunung berapi tertinggi di negerinya. Namun sungguh disayang, obsesinya untuk menempatkan lutut di atas puncaknya pupus karena gunung Kerinci dalam kondisi siaga dan tak boleh didaki.

Beralihlah Si Bodoh ke puncak gunung lain di negeri seberang itu. Gunung Singgalang. Gunung yang menarik perhatiannya karena memiliki sensasi telaga di atas sana. Tak hanya itu pertimbanganya, Si Bodoh hanya sendiri dalam perantauan pendakian itu. Sehingga pertimbangan atas tinggi gunung dan lama perjalanan ke puncaknya yang tidak terlalu lama pun menguatkan tekadnya untuk mencapai puncak gunung Singgalang walaupun sendiri. Bukan hal aneh atau mengkhawatirkan baginya, karena tak hanya sekali Si Bodoh melakukan pendakian dengan kesendirian. Walaupun bagi beberapa orang itu adalah tindakan bodoh. Tapi tidak baginya saat memutuskan pada waktu itu.

Tertunaikan pula hajat pendakianya hingga ia tiba di pos awal jalur pendakian berkat informasi umum dari internet yang dia peroleh. Skali lagi, hanya informasi umum dari internet.

Walaupun ternyata jalur pendakian itu tak di lengkapi administrasi dan asuransi resmi tak membuatnya kembali berlabuh di buritan. Walaupun pula pada malam itu hanya terdapat satu rombongan dan dia sendiri yang menjamah jalur pendakian tak membuatnya menurunkan bendera peperangan. (Haha..lebay..)

Dari informasi yang Si Bodoh dapat, hanya sekitar 7-8jam waktu perjalanan kaki dari pos awal hingga puncak gunung Singgalang. Selama 3 jam perjalanan awal dari jam 21.30 sampai jam 00.30, Si Bodoh berjalan bersama rombongan pendaki setempat tersebut hingga ke tempat peristirahatan malam itu.

Baginya, malam bukanlah lawan walaupun angin dingin menembus tulang. Bukan pula kawan, walaupun malam menyajikan keindahan bulan dan bintang. Baginya, malam adalah resepsi spiritual dengan Tuhan Semesta Alam.


Subuh.

1 dari 4 moment terindah dalam setiap pendakiaan Si Bodoh. Tiga lainnya adalah: saat menjalin persahabatan dalam hangat tenda; saat menikmati malam yang berhias bintang; dan saat puncak gunung tak setinggi lututnya lalu keningnya direndahkan setinggi puncaknya seraya berucap syukur pada-Nya.

Subuh di Singgalang saat itu mentari malu-malu menghangatkan bumi dengan sinarnya. Sedikit bersembunyi di balik awan pertemuan ujung dunia dan ujung cakrawala. Biasa saja.

Si Bodoh lanjutkan langkahnya. Sendiri menyusuri konfigurasi yang terus meninggi.

Alam langsung suguhkan sensasi rumput-rumput gajah yang tajam dan meninggi. Masih membekas pula cumbuan embun kepada daun semalam yang menyisakan tetesan air di ujungnya. Si Bodoh basah dan perih oleh sayatan tipis rerumputan raksasa.

Mentari mulai tak malu-malu lagi. Si Bodoh istirahatkan raganya dan hangatkan jiwanya. Cukup menarik perhatian burung-burung genit yang menggodanya dengan tari dan nyanyian ceria. Si Bodoh sangat menikmatinya.

Dengan parang tak sakti namun menambah sugesti berani, dia buat tanda penunjuk arah kembali di setiap langkah yg dilewati. Sensasi mulai meninggi. Tak hanya burung yg menari dan bernyanyi, Owa pun ikut unjuk gigi.

Tak hanya itu, babi hutan yang mencari sarapan sedikit membuat detak jantung Si Bodoh di atas normal. Tak lebih 10 meter di depannya. 'grog grog grog'. Sigap, Si Bodoh hempas-hempaskan parang ke pohon hingga kebisingan impulsif mengagetkan si babi.

'Lanjutkan!', kata hatinya.

Tiga jam perjalanan berselang, nampak tanda-tanda tanah yang mulai basah. 'Telaga dewi hampir sampai!' hibur hatinya.

Namun memang itu adanya. Konfigurasi mulai agak mendatar. Cekungan yang mengkerucut pada muara air seluas lapangan bola. Ya.. Telaga dewi yang indah penuh sensasi. Namun sekali lagi, dia hanya sendiri. Rekaman kamera dari HP-nya mungkin tak sejelas rekaman kenangan yang terngiang hingga saat ini. Membekas tegas!

(Telaga Dewi, 2762 mdpl. Beberapa ratus meter sebelum puncak Gunung Singgalang)

Si Bodoh yang tak tau diri sedikit menggila di telaga itu. Berkata-kata ria tentang romantisme kisah kasihnya. 'Aku ingin mengajakmu kesini, melihat kuasa Sang Maha walau ku harus menggendongmu, aku mau!' (Hahaha.. Orang gila!)

2700 Mdpl, sekitar satu jam sebelum puncak. Si Bodoh melanjutkan perjalanannya.

Hijau lumut smakin menebal di sekitar jalan yang dilaluinya, licin dan lembab. Terus Si Bodoh langkahkan kakinya hingga perasaanya semakin tak biasa.

'Benarkah ini jalur pendakiannya? Kenapa seperti jarang dilaluli manusia?' Perasaan curiga yang dia bunuh seketika. 'Aku harus mencapai puncaknya', bisik hatinya.

Tak berapa lama muncul di hadapannya dua ekor burung gagak hitam. Bertengger di batang tengah jalan yang akan dilaluinya. Tak jauh dari situ, ada jejak aneh. Degg!!

Sepertinya sangat mirip jejak yang pernah ditemuinya. Jejak kaki yang lebih besar dari kaki manusia. Seperti jejak harimau sumatera yang ditemuinya ketika 2 bulan di hutan pedalaman daerah Solok Selatan. Panthera tigris sumatrae.Harimau Sumatera cukup pandai berenang karena ada selaput di antara jari-jari kakinya. Konon katanya harimau ini sering menggiring mangsanya menuju ke air. Sangat masuk akal rupanya. Jejak kaki yang terletak cukup dekat dengan Telaga Dewi.

Dia tidak benar-benar sendiri rupanya.

Pendakian yang tak akan pernah dia lupakan.

Wallahua'lam.


Bogor, Mei 2009

Leave a respond

Posting Komentar