Suatu saat mungkin akan terjadi yang orang bilang tragedi.

'Secara kasat mata, kesejahteraan masyarakat suatu negara dapat dilihat dari kebersihan sungai-sungainya.' Kata-kata itu si bodoh dengar dari seorang Profesor yg mengajar kuliahnya ketika semester 3 dan masih membekas tegas hingga saat ini,saat si bodoh masih berkutat dengan skripsinya. Kata-kata yang sederhana namun baginya begitu luar biasa, karena membawanya pada kenangan nostalgia saat si bodoh sering bersuka ria bermain di sungai yang lumayan dekat dengan rumahnya hingga menambah hitam kulit mukanya. Atau membawanya ke negeri-negeri nun jauh disana, eropa.

Ketika si bodoh masih ingusan, bapak dan kakak-kakaknya sering mengajaknya ke sungai Galeh yang merupakan Subdas dari Daerah Aliran Sungai Progo. DAS yang mengalir dari hulu kaki gunung Sindoro Sumbing, ke selatan melewati Temanggung, Magelang Muntilan hingga bermuara di hilir Jogjakarta tepian Samudera Hindia. Pada waktu itu, si bodoh tak ragu untuk membasuh muka atau bahkan berkumur dengan jernih airnya. Beberapa tahun berselang, euforia reformasi merubah segalanya secara luar biasa. Kawasan lindung lereng Sindoro Sumbing bak seorang gondrong dicukur dengan sadis menggunakan chainsaw yang hampir tiap hari mengerang. Dijarah dan dibakar untuk memuaskan nafsu para penghuni bumi yang mungkin terlalu manusiawi hingga lupa akan apa itu ekologi. Secara drastis debit-debit air di sungai-sungai Subdas Progo pun menurun. Gorong-gorong air hasil pembangunan di desa-desa yg tadinya banyak mengalirkan air, kini sekarat. Bahkan anak ayam pun mampu berjalan mencari makan di dasar bangunan aliran air. Alam semesta menerima perlakuan sia-sia, diracun jalan nafasnya, diperkosa kesuburanya.. Betapa marahnya alam..

Mencoba menengok rumput tetangga yang lebih hijau. Menyusuri Sungai Rhein yang melintasi Swiss, Prancis, Jerman hingga Belanda. Si bodoh belum pernah kesana, apalagi cuci muka dan berkumur dengan airnya. Hanya tahu dari dunia dalam berita atau dongeng dari dosen-desennya. Namun dia sangat yakin, air sungai Rhein layak untuk cuci muka. Selayaknya kesejahteraan masyarakat negara-negara Eropa yg dilewati aliranya.

Dunia mengakui, awal munculnya peradaban-peradaban besar berpusat di daerah-daerah aliran sungai. Bukankah artinya, tanpa sungai-sungai tersebut peradaban manusia tak akan seperti sekarang ini? Mungkin hipotesis yang terlalu ekstrim dari si bodoh. Dia hanya mampu menganalogikan pada daerah dusun kelahirannya, kaki gunung Sindoro Sumbing yang amat dicintainya.

Dia kadang membayangkan suatu saat mungkin akan terjadi yang orang bilang tragedi. Suatu ketika daerah resapan air dari hutan-hutan dihulu sungai tak ada, suatu ketika lahan-lahan pertanian di desanya tak seproduktif masa kejayaannya karena humus hilang terbawa seirama dengan airnya yang hilang sirna, suatu ketika daerah-daerah aliran sungai hanya menjadi monumen bersejarah cerita nostalgia nenek moyangnya, atau bahkan suatu ketika peradaban daerahnya tak menyisakan kearifan lokal masyarakat yang terbangun dari nilai-nilai luhur kecintaannya terhadap alam semesta.

Mungkin kita lupa terhadap filosofi nenek moyang kita. Filosofi petani yang tak pernah berpikir bahwa yang dia tanam saat ini akan dipanen setelah satu atau dua hari, tapi suatu hari nanti.

Semesta tak pernah ajarkan kekerasan. Tak pula tunjukkan kesombongan. Namun alam ajarkan kita kuat dalam setiap tantangan dan tunjukkan tentang kasih sayang.


Semoga bermanfaat..

Untuk kesejahteraan negeriku...

Ditulis pada tanggal 13 januari 2010.


(Gunung Sumbing, Merbabu dan Merapi nampak dari Sindoro)

Leave a respond

Posting Komentar