Rimbawan, pendaki dan semua manusia di bumi ditakdirkan untuk mengalahkan diri sendiri.

Catatan ini sekedar pemikiran si bodoh yang sangat sedikit tahu tentang geliat penghuni bumi. Sekedar rangkuman selama perjalanan hidupnya yang belum seumur jagung muda. Bila membaca tulisan ini tanpa hati dan logika, berhentilah membaca sampai di sini!

Sudah menjadi pertanyaan klise untuk apa seseorang mendaki gunung. Seorang pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, selalu menjawab pertanyaan itu dengan sederhana. “Because it’s there”. Ataukah pendaki-pendaki Indonesia yang mungkin terinspirasi oleh seorang Soe Hok Gie, “Nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami mendaki gunung”. Atau jawaban-jawaban klasik seperti untuk olahraga dan menyegarkan diri. Ataukah sebagai symbol bahwa ‘aku bisa karena telah sampai puncaknya!’, ‘aku hebat karena mampu bertahan dalam dingin dan hujan lebat!’. Bagi si bodoh yang hampir separuh usianya telah menginjakkan kaki di puncak beberapa gunung di antara ribuan gunung di atas muka bumi, jawaban-jawaban itu cukup manusiawi. Namun menurutnya, ada alasan dan manfaat yang jauh lebih berarti. Seorang pendaki belajar untuk mengalahkan kesombongannya karena di atas langit masih ada langit. Seorang pendaki belajar mengalahkan ketakutannya karena ada sesuatu yang lebih pantas ditakutinya. Seorang pendaki belajar mengalahkan ego pribadi, karena di atas sana tidak dapat selamanya hidup sendiri. Seorang pendaki belajar untuk sabar dalam perjalanan panjang hidup ini.

Bagaimana dengan rimbawan?apakah untuk menunjukkan bahwa ‘Aku seorang jagoan karena menguasai hutan!’?
Belajar dari suatu ekosistem hutan. Ekosistem akan ambruk bila tidak ada decomposer, bahkan bila tidak ada predator. Predator memangsa produser sekunder bukan untuk menghancurkannya, tapi dalam fungsinya sebagai transformer of energy. Bila tidak, energy akan bertumpuk dan membesar pada produsen sekunder yang akan menghancurkan produsen primer dan berarti juga kehancuran produser sekunder dan seterusnya. Dan tak akan pernah bisa satu komponen pun di alam ini hidup sendiri!
Belajar dari ekosistem hutan, belajar bahwa rimbawan tidak dapat hidup sendiri dengan baju eksklusifitas rimbawan. Karena justru seorang rimbawan harusnya bisa jauh lebih arif dan bijaksana karena dengan sabar ‘melayani’ profesi lain yang kadang cenderung hanya ‘memanfaatkan’ hutan. Bukankah tugas utama seorang rimbawan adalah melestarikannya? Memberi kebaikan pada seluruh penghuni alam semesta?
Tak akan ada gunanya mengembor-gemborkan kehebatan dan kemandirian masa lalu kalau itu hanya akan suburkan kesombongan dan keangkuhan yang berakibat pada nuansa ketakutan, bukan sikap simpati dari hati yang jadi hal penting dari sebuah kata sinergi.

“Rimbawan bukan ditakdirkan hanya untuk menguasai hutan. Pendaki bukan hanya ditakdirkan untuk menaklukkan gunung tinggi. Rimbawan, pendaki dan semua manusia di bumi ditakdirkan untuk mengalahkan diri sendiri.”

Bogor, 8 April 2010
Sekedar catatan untuk introspeksi dan nyemangati diri sendiri yang bodoh ini, syukur-syukur nyemangati yang baca juga…hehe

Leave a respond

Posting Komentar