Saya adalah Si Bodoh yang Beruntung, Ragil Satriyo Gumilang.

Terlalu banyak keberuntungan dalam hidup Si Bodoh. Beruntung dalam arti bahwa banyak hal dalam hidupnya terwujud semata-mata tak hanya atas usahanya sendiri. Menganggap bahwa entah di mana ada kekuasaan tangan-tangan tak terlihat yang memudahkan secara luar biasa dan tanpa di sangka-sangka.

Flashback pada masa Si Bodoh SMA. Mungkin bisa dibilang dia hampir tak lulus ujian akhir sekolah. Pada waktu itu standart kelulusan mata ajaran Biologi di sekolahnya adalah 5,75. Ketika itu Si Bodoh menyadari ketidakbisaan mengerjakan ujian. 2 hari kemudian dia bertanya pada guru pengampu mata ajaran tersebut tentang peluang berapa orang yang tak lulus ujian. Beliau menjawab, kemungkinan ada 2 orang. Si Bodoh kaget, sempat berpikir, 'Aku kah itu??'. Namun memang wajar jika dia berfikir seperti itu, secara nilai-nilai pelajaran Biologinya tak pernah baik. Bahkan Si Bodoh selalu dalam jajaran belakang rangking kelasnya.

Selang beberapa waktu, pengumuman resmi pun keluar. Dan ternyata semua siswa dinyatakan LULUS. 'Alhamdulillah!', katanya. Namun ternyata Si Bodoh mendapat nilai ujian tersebut tepat di ambang batas, 5,75. Sangatlah masuk akal bila dibilang, Si Bodoh hampir tidak lulus SMA. Dan mulai saat itu Si Bodoh semakin meyakini bahwa seperti itulah keberuntungan. Mungkin karena doa tangan-tangan tak terlihat seperti doa ibunya yang hampir tiap sepertiga malam beliau terisak-isak mengalunkan ayat-ayat suci terindah. Dan dalam sujudnya yang lama beliau haturkan puji-pujian untuk merayu Sang Maha hingga keningnya menahan berat yang teramat sangat. Si Bodoh sangat yakin itu, seyakin dulu saat malam-malam terjaga dia mendengar lirih dari tempat tidur bahwa ibunya sedang menangis doakannya tentang kehidupan.

Tak hanya itu, masih banyak moment-moment ajaib yang menghiasi perjalanan hidupnya. Seperti ketika Si Bodoh mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Si Bodoh sangat ingin masuk perguruan negeri di Bogor sejak SMA. Walaupun dia yakin bahwa tak mungkin masuk PTN tersebut melalui jalur tanpa tes dan administrasi saja (PMDK/USMI) karena nilai-nilai harian Si Bodoh tak cukup bagus, dia pun tetap bersikeras akan mengajukannya. Walau pada akhirnya guru konselingnya menyatakan, 'Kamu tidak bisa mendaftar karena nilai-nilaimu tidak cukup.'

Ya sudahlah, Si Bodoh pun akhirnya mendaftar melalui jalur seleksi umum (SPMB). Tibalah pada hari diumumkannya hasil seleksi. Dan ternyata, Si Bodoh diterima di PTN tersebut. Sampai saat ini pun Si Bodoh masih meyakini bahwa itu salah satu keberuntunganya. Secara, Si Bodoh pada saat SMA tidak pernah mengikuti bimbingan belajar kecuali hanya Bahasa Inggris dan Fisika yang menjadi kelemahan terbesarnya (Hampir semua lemah denk.. hehe). Si Bodoh malah masih keasikan dengan organisasi di sekolahnya dan keasikan menikmati hobi berbagai olahraga dan pendakian-pendakian gunungnya.

Sekali lagi, itulah keberuntungan. Mungkin tak hanya karena doa ibunya dan kakeknya yang tiap si cucu akan menjalani moment penting selalu mendoakan dan membacakan surat Al-Waqiah semalam suntuk yang konon katanya untuk harapkan keberuntungan dari Allah. Ternyata benar juga pesan seorang ustad, ‘Jangan meremehkan doa, sebab ia satu-satunya cara untuk mengubah takdir.’ (Satria Hadi Lubis)

Menginjak tingkat 2 di kuliahnya, Si Bodoh pernah berujar bahwa selama masa kuliahnya, dia akan menginjakkan kaki ke penjuru nusantara. Cukup tak masuk akal jika keinginannya terwujud dengan mengandalkan kiriman uang bulanan yang hanya cukup untuk kebutuhan harian tanpa pernah menyisakan tabungan. Namun sungguh luar biasa, energi positif di alam serta merta merangkulnya menuju tempat-tempat nun jauh di sana. Tak jarang Si Bodoh diajak ke berbagai kegiatan keproyekan seperti ke Pulau Bangka, Kalimantan, Mentawai, Sumatera, atau hanya sekitar Jawa. Bahkan obsesi perjalanan dan pendakian gunungnya pun makin termudahkan dengan bayaran selama proyek-proyek tersebut. Dari uang jerih payahnya, Si Bodoh bisa mendaki gunung-gunung seperti Semeru, Ciremai, Slamet, Gede, Pangrango, Salak, Merapi dan gunung-gunung di Jawa lainnya bahkan Gunung Singgalang di Sumatera Barat yang mungkin hampir menewaskannya. Tak jarang pula Si Bodoh membayar biaya dan keperluan kuliahnya dari hasil keringatnya. Skali lagi Si Bodoh anggap itu adalah k.e.b.e.r.u.n.t.u.n.g.a.n.

Begitu pula saat Si Bodoh menjalani tahap akhir kelulusan kuliahnya. Tahap-tahap yang baru bias diselesaikannya selama 5 tahun di bangku kuliah. Cukup lama. Karena hampir sebagian besar teman seangkatannya sudah lulus kuliah bahkan ada yang sudah bekerja. Namun 5 tahun yang dilaluinya tak pernah dan tak akan pernah disesalinya. 5 tahun yang dilalui dengan berbagai petualangan, ngurus anak-anak orang sebagai ketua mahasiswa jurusan dan fakultas, serta kesibukan-kesibukan lain yang sangat tak berkaitan untuk mendukung kegiatan perkuliahannya. Hingga tepat sehari sebelum Si Bodoh wisuda, dia mendapat kesempatan untuk interview kerja dengan seseorang yang saat ini menjadi atasannya di sebuah NGO International.

Si Bodoh sangat yakin bahwa keberuntungan-keberuntungan itu telah dan akan tetap datang. Si Bodoh menganggap bahwa dia harusnya memang tak sekedar mengejar keberhasilan, namun juga harus mengejar keberuntungan. Semua kembali pada yang meyakininya. Dan itulah saya, Si Bodoh yang beruntung, Ragil Satriyo Gumilang.


'Allah senantiasa menolong hambaNya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.' (HR. Muslim)

Leave a respond

Posting Komentar