Merunut Kembali Makna Idealisme

'Ora masalah gajine cilik po gedhe. Sing penting nek golek kerjo sing disenengi, manfaat ndonyo akherat.' (Mbah Kakung)

Kira-kira seperti itulah wejangan mbah kakung. Kakekku, suami nenekku, ayah kandung ibuku. (Haiyah!hehe).
'Gak masalah klo kerja gaji besar atau kecil, yang penting klo cari kerja yang disenengi, bermanfaat dunia akherat'. Dengan gaya khas nya, berbicara penuh semangat dan intonasi gaya orang jawa. Nyaring. Maklumlah.. Mbah kakung yang usianya hampir kepala 9 dulunya adalah seorang polisi. Wejangan itupun didasarkan pula atas pengalaman pribadinya.
'Sak wijining dino', mbah kakung pernah bekerja sebagai pedagang sebelum menjadi polisi. Konon katanya penghasilan dari dagangnya bisa 3x lipat gaji polisi waktu itu. Namun mbah kakung lebih memilih menjadi polisi. Mengabdi pada negara ini. Karena hati kecilnya lebih menyukai sebagai polisi. Dan memang terbukti, hidup mbah kakung terlihat lebih tentram. Di usia sekarang ini beliau masih sering jalan-jalan pagi, sehat, bugar, dan tak perlu bantuan tongkat untuk menyangga tubuhnya (Alhamdulillah)
Itulah sekilas kisahnya.

Wejangan mbah kakung ini terasa istimewa bagiku. Mungkin karena momentumnya tepat. Ketika aku dalam masa pencarian medan hidup baru setelah kuliah. Ataukah memang wejangan itu adalah buah kematangan usianya yang tak lagi muda. Atau pula wejangan itu senada dengan salah satu bab dalam buku yang belum lama aku baca. Entahlah, saat ini aku hanya ingin menuliskannya. Sbagai petanda arah jalan hidupku atau juga jalan pulangku.

Serpihan-serpihan kata dan makna dalam kepalaku mulai terangkai. Mencoba mengurai kembali tentang makna idealisme. Dan kalimat 'melakukan pekerjaan yang disenangi dan bermanfaat dunia akherat' telah menjawab makna idealisme tersebut.

Merujuk pada buku yang belum lama kubaca, ternyata sistem dan pola pendidikan kita di indonesia terlalu mengedepankan pengembangan otak kiri (kognitif: nalar, logika, hafalan, dsb) dan mengesampingkan pengembangan otak kanan (emosi, perasaan, dsb). Bahwa pola pendidikan sekolah di negara kita lebih mengarahkan pada hafalan tentang rumus, hafalan ayat2 dan peraturan-peraturan, atau bahkan teori-teori kebaikan dalam nilai2 pancasila, dsb. Dan kurang memperhatikan tentang pembentukan karakter yang seharusnya bisa menjadi penyeimbang hafalan dan teori. Bahkan berdampak pada penjiwaan implementasi teori-teori.

Banyak hal tentang dampak negatif ketidakseimbangan pola pendidikan yang dijelaskan dalam buku itu. Salah satunya adalah tentang kesungguhan seseorang dalam menjalani pekerjaannya, melakoni hidupnya.

Di negara kita, pola pikir masyarakat tentang profesi seperti telah membuat kasta dengan sendirinya. Anak-anak bahkan orang tua masih menganggap bahwa orang sukses dan cerdas itu adalah orang yang bisa menjadi dokter, ilmuwan, pengusaha, dsb. Tengoklah masa lalu kita, bukankah setiap ada pertanyaan dari guru 'anak-anak..kalau besar ingin jadi apa?', dan jawabanya tak beragam, itu-itu saja. Dokter, tentara, ilmuwan, guru, dsb. Dan ketika jawabanya berbeda bahkan terkesan bukan sebagai cita-cita orang cerdas dan sukses (misal supir, pelayan restoran, seniman, dsb), maka guru dan orang tuapun 'protes', 'Koq cita-citanya cuman seperti itu sih?'.

Si penulis mengisahkan pengalamanya ketika berada di Amerika. Di sebuah taman kanak-kanak, seorang guru slalu mendukung cita-cita apa yang dsukai muridnya. Si penulis juga mengisahkan tentang anaknya yg waktu kecil bertanya 'Ibu, boleh gak klo jadi supir taksi?'. Kemudian si penulis menjawab, 'Iya gak papa sayang, asal kamu menyukai pekerjaan itu, menjadi supir yang jujur, amanah dan bertanggung jawab.'

Dan setelah kurenungkan, ternyata penekanakannya adalah pada minat dan mengarahkan untuk melakoni takdir hidupnya sebaik mungkin. Karena itulah yang lebih penting. Bukankah setiap manusia dikaruniakan kemampuan dan IQ yang berbeda-beda? Bukankah wajar jika cita-cita kita berubah-ubah seiring perkembangan usia dan pemahamanya? Insy4wl permasalahan pelik negeri ini pun akan terselesaikan ketika masyarakatnya menjalani pekerjaan dan takdir hidupnya dengan senang hati, penuh semangat, jujur, amanah, tanggung jawab, tak berkeluh kesah. Bukankah kuncinya adalah 'senang hati'? Bukankah intinya adalah berusaha untuk menjadi seorang yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkunganya? walaupun profesi itu adalah tukang parkir, supir, atau bahkan petinggi-petinggi negeri ini.

Tidak sedikit orang yang frustasi, stres, ato kemudian sekedarnya saja menjalani hidupnya karena tuntutan dalam diri dan lingkunganya terlalu tinggi. Dan mental untuk menyikapinya masih berorientasi pada paradigma orang 'sukses dan cerdas' adalah orang yang penghasilanya banyak dan pekerjaanya bergengsi.

Karena seorang buta yang bekerja sebagai pembuat sapu lidi pun adalah orang yang sukses dan cerdas, ketika profesinya bermanfaat untuk orang lain, ketika dia menjalaninya dengan senang hati.

Leave a respond

Posting Komentar