MELURUSKAN PARADIGMA MENIKAH

Ada satu hal yang ada pada diri kita yang sebaik apapun sesuatu itu bisa menjadi sesuatu yang sia2 bahkan bisa menjadi masalah, jika sesuatu itu salah. Sesuatu itu adalah PARADIGMA.
Mungkin saja paradigma kita bisa dipengaruhi oleh orang lain, jika pengaruh itu kuat. Tapi yang paling bisa merubahnya adalah diri sendiri.
Kita akan mulai berubah dari merubah paradigma berpikir. Berpikir dengan cara yang berbeda, agar merasakan perbedaan sehingga akan didapatkan sesuatu yang berbeda pula.

MELURUSKAN PARADIGMA MENIKAH

Kita mulai dengan melihat diri kita, kita manusia bukan malaikat. Perbedaan manusia dan malaikat adalah bahwa malaikat tidak punya nafsu sedangkan manusia punya. Dengan adanya nafsu hidup manusia penuh dinamika dan warna. Kadang dinamika tersebut membuat manusia menjadi hina tapi juga bisa memuliakan.
Allah menaqdirkan laki-laki punya nafsu terhadap perempuan dan sebaliknya. Inilah yang akan membagi manusia menjadi 2 golongan. Nafsu diibaratkan gelombang besar. Berhadapan dengan gelombang, manusia akan tergolong menjadi 2 golongan. Yang pertama ada orang yang akan tenggelam dalam gelombang. Yang kedua adalah orang yang menikmatinya (surfing).
Ada cara seseorang menghadapi gelombang yang dengannya ia tidak akan pernah tenggelam, yaitu dengan diikat sebuah tali. Mengikat ke mana tali itu? Ke langit.
Jika tidak ingin tenggelam dalam gelombang nafsu maka kita harus mengikatkan diri dengan aturan ke langit yaitu Islam. Siapapun tidak akan tenggelam jika mengikatkan diri pada syariat Islam. Dan aturan itu adalah MENIKAH. Tujuan utama menikah adalah karena untuk beribadah kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib ra pernah menasehati, cara untuk selamat adalah “berbicaralah ketika kamu tidak ingin bicara, dan jangan bicara ketika ingin bicara, maka kamu akan selamat dengan lidah ini”
Apa pelajaran yang bisa diambil ?
1. berbicara dianalogikan dengan nikah, perlu managemen, artinya adalah menikah bukan karena ingin/syahwat. Kita perlu membebaskan diri dari bayang-bayang kesenangan dalam menikah.
2. Ketika kita menikah, kita tidak akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Kita tidak menjadi objek tapi sebagai subjek.

Menikah = ½ kesenangn + ½ ibadah
Kesenangan adalah sesuatu keniscayaan yang akan muncul dengan sendirinya.
Jika ingin menyempurnakan separuh agama maka niatkan sepenuhnya untuk ibadah tanpa ada niat untuk kesenangan.
Tujuan orang menikah itu sebenarnya untuk apa ya??
Analogi : kalau makan tujuannya biar tidak lapar, makan akan menjadi sesuatu yang tidak punya nilai. Hal yang sama dengan menikah, jika ditujukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan maka menjadi tidak punya nilai juga. Karena setelah menikah kebutuhan itu akan secara OTOMATIS terpenuhi.
Ada tujuan yang paling utama, yaitu menikah untuk ibadah.
Mungkinkah ibadah dikaitkan dengan hawa nafsu? Tidak mungkin.
Karena nikah dalam rangka beribadah maka SAYA HARUS MEMBEBASKAN DIRI DARI KERANGKA DUNIA.
Banyak orang yang memahami bahwa pernikahan hanya proses halalnya laki-laki dan perempuan. Ini merupakan pandangan yang sangat sempit. Pernikahan sebenarnya adalah peristiwa penyerahan tanggung jawab. Penyerahan tanggung jawab orang tua terhadap anak perempuannya kepada laki-laki. Penyerahan tanggung jawab sesungguhnya adalah peristiwa yang berat. Berada dalam perwalian ayah bisa jadi merasakan kebaikan, kemudian diserahkan kepada seseorang yang baru kenal di tengah perjalanan hidup. Di mana hubungan antara orang tua dengan anak berbeda dengan seorang laki-laki.
Dalam segala proses penyerahan tanggung jawab harus ada akad/transaksi, yaitu Aqdun nikah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Wallahu a'lam.

Leave a respond

Posting Komentar