Tak perlu malu untuk menulis dan meraih sesuatu. Toh otak di kepala kita tak pernah malu memikirkannya.

Seperti biasa, di sepertiga malamnya Si Bodoh berfikir tentang sesuatu yang mungkin dianggap terlalu bodoh bagi yang lain. Baginya, untuk apa perlu malu menuliskan sesuatu kalaulah di otaknya yang sangat personal pun tak malu memikirkannya. Ya.. Dia hanya ingin menulis. Titik!

Si Bodoh teringat salah satu babak hidupnya yang memberi bekas tegas tentang m-e-n-u-l-i-s. GPS di kepala Si Bodoh membimbingnya pada suatu titik koordianat, di suatu dusun yang sangat terpencil, tempat yang sadarkan dia tentang menulis.

Dusun itu berjarak 5 km dari kantor Kepala Desa yang biasanya ditempuh dengan berjalan kaki karena medan yang cukup sulit dan menanjak. Jika menggunakan ojeg pun juga harus membayar ongkos sekitar Rp. 15.000,- pada waktu itu. Sulitnya akses ke lokasi membuat masyarakat sangat terbelakang terutama dalam hal pendidikan. Sekolah Dasar di dusun itu hanya dilaksanakan 1 kali dalam seminggu. Disamping gedung sekolah yang tidak tersedia, tenaga pengajar untuk program paket A pun kurang memadai. Si Bodoh berangan-angan, di sekitar megahnya kota beranjak metropolitan seperti Bogor koq masih ada tempat seperti itu. Sadis!

Dari tempat Si Bodoh mencari sesuap ilmu kuliahnya memerlukan waktu 1,5 jam perjalanan mobil ditambah 2 jam jalan kaki untuk mencapai dusun ini. Pada waktu itu Si Bodoh dan teman-temannya bersemangat ’45 membawa berbagai sumber daya untuk diberikan kepada masyarakat nun jauh di sana. Puluhan bibit pohon, berkilo makanan pokok, ratusan pakaian pantas pakai, puluhan poster lingkungan, ratusan buku dan alat tulis lainnya, ditenteng menuju kesana. Hanya satu niatan, memberi harapan. Niatan yang telah terlaksana dengan memberikan bantuan dan mengajarkan pendidikan lingkungan kepada masyarakat terutama anak-anak usia sekolah dasar. Mungkin bagi yang lain itu adalah hal bodoh, tapi bagi Si Bodoh itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dia dan teman-temannya walau harus jalan dengan tergopoh. “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. (HR. Muslim)”.

Singkat cerita, di sebuah surau besar yang biasanya masyarakat gunakan untuk sembahyang dan mengaji, hari itu beralih fungsi. Berubah bak tempat sekolah penuh semangat, canda dan tawa renyah. Iseng-iseng Si Bodoh ingin tahu apa cita-cita anak-anak di suatu dusun terpencil seperti itu. Si Bodoh relakan selembar catatan hariannya untuk anak-anak tuliskan cita-cita mereka. Anak-anak itu bekerja keras menuliskan kata-kata pelaksana impian otaknya. Tak sedikit pula yang hanya mngerubungi dan malu-malu walau sekedar menuliskan cita-citanya. Selang berapa lama tak ada lagi anak-anak yang mencorat-coret catatan hariannya. Kemudian sampailah pada suatu moment dimana dia hanya mampu membisu dan terpaku. Moment ketika dia membaca puluhan kata di lembaran kertasnya, namun hanya menemukan beberapa jenis cita-cita dari puluhan anak-anak yang menuliskannya: Guru, Dokter, Polisi, Abri. Hanya ada 4 jenis cita-cita!!

Dalam hati Si Bodoh berkata, ‘Ya...Allah..Aku bisa mengerti sebagian mereka malu menuliskan cita-citanya. Namun, sebegitu sulitkah mereka untuk sekedar mengetahui jenis cita-cita selain itu? Menulis berbagai jenis cita-cita saja mereka malu dan tak tahu, apalagi meraihnya, apa mereka mampu?’

Sepanjang perjalanan pulang Si Bodoh mencoba lebih mengkaji. Ingatannya tertuju pada sulitnya mereka tau jenis cita-cita apalagi meraihnya dan tentu tertuju pula pada 4 jenis cita-cita: Guru, Dokter, Polisi, Abri. Begitu mulia cita-cita mereka. Cita-cita yang tak hanya untuk kebahagiaanya sendiri tapi untuk mengajar murid jadi pintar, menyembuhkan pasien sakit dan menjaga keamanan kawulo alit. Berpikir sederhana untuk hal biasa, bagi anak-anak seperti mereka itu luar biasa. Si Bodoh mendengar dari dunia dalam berita, konon katanya dalam tahun yang sama salah satu dari mereka berhasil menjuarai lomba program paket A se-Jawa Barat.

Si Bodoh berharap sangat, semoga anak-anak kecil itu nanti tumbuh dan berkembang menjadi orang yang berpengharapan. Orang-orang yang mampu melihat hal-hal tak terlihat, merasakan hal-hal yang tak teraba, dan menggapai hal-hal yang tak mungkin. Orang yang tak pernah merasa malu menulis dan meraih sesuatu karena otaknya pun tak pernah malu memikirkan sesuatu itu. Begitu pula harapan bagi dirinya.

Leave a respond

Posting Komentar