Ingin menuliskan kisah pendakian yang tercecer, tak terpungut.

Ingin menuliskan kisah pendakian yang tercecer, tak terpungut. Pendakian Gunung Slamet, puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah, 3.432 mdpl.

Aku ingat betul, pendakian waktu itu tak menyisakan keindahan panorama yang terlalu mempesona, biasa saja. Panas yang mengganas, dingin tak lazim, dan gersang tak kepalang.

Namun entah kenapa, kisah persahabatan 8 anak manusia dalam pendakian waktu itu tak memberi pilihan kepadaku untuk mengabadikan menjadi sebuah tulisan. Walaupun sudah lebih dari dua tahun silam. Tak ada kata basi, aku hanya ingin menuliskan kenangan ini menjadi kisah abadi. Seabadi persahabatan yang selalu diharapkan.


Bagi yang pertama kali membaca nama-nama aneh ini, tolong telan saja. Nama-nama aneh seaneh kelakuan mereka. Kobul, Kibo, Bejo, Kura, Maung, Gilang, Moji, dan aku sendiri yang mulai saat itu mendapat gelar kehormatan dengan nama; ireng. Tragis bukan?

Tapi begitulah definisi persahabatan bagi kami. Seperti merobohkan pagar-pagar pembatas. Lalu menciptakan halaman rumah yang sangat luas. Persahabatan yang tak hanya kata-kata indah. Kadang keluar kelakar kasar. Kadang menciptakan senyum mesum. Bahkan kadang olok-olok yang menohok. Tapi seiring meluasnya halaman rumah kami, meluas pula forbiden area yang entah sampai mana batasnya, mendekati tak terbatas.

Salah satu moment pendakian yang mungkin sulit terlupakan adalah kisah si Kura. Sungguh sangat bencong si kura pada waktu itu. Lambat. Selambat kura-kura. Tapi kami semua maklum, karena itu adalah pendakian pertamanya. Kami yakin dia mampu, hanya saja badannya kaget, kurang siap. Dialah Kura. Yang berniat tidak melanjutkan pendakian dan turun kembali ke perkampungan setelah 2-3 jam kami melakukan perjalanan menanjak. Tapi justru, karena momen seperti itu yang membuat persahabatan kami semakin romantis. Saling menyemangati walau masih dibumbui kelakar kasar. Bahkan bergantian membawakan barang si kura, walau sebenarnya smua dari kami pun kewalahan membawa masing-masing bawaan. Cuman satu keinginan kami. Mencapai puncaknya bersama-sama. Itu saja.

Dialah Kura. Yang memberi kesan menawan ketika setiba turun gunung kami ngamen di sebuah cafe di Purwokerto. Yang cukup lumayan mengurangi beban pengeluaran.


Masih banyak kisah lainya dalam pendakian tersebut. Namun sayang, bis Purwokerto-Wonosobo yang sedang aku tumpangi saat ini siap berlabuh di buritan.


To be continued..

Leave a respond

Posting Komentar